Kamar Nomor Enam
SUDAH seminggu aku tak melihat keberadaan penghuni kamar nomor 6. Sebagai ibu kost, hal tersebut tentu membuatku gundah. Sudah kucoba ketuk pintunya dua hari lalu, namun nihil jawaban. Sudah juga kutanyai kamar sebelahnya, barangkali mereka menemukan sosok penghuni nomor 6 keluar dari kamarnya. Mereka menggeleng tak tahu menahu. Cctv? Ah, sialannya aku malah menunda perbaikan benda penting itu sejak sebulan lalu. Tidak ada bukti jejak digital bahwa penghuni itu masih tinggal di dalam kamar nomor 6, bisa saja gadis itu pergi diam-diam ditengah gelapnya malam ‘kan?
Aku buntu.
Selesai shalat ashar kuputuskan untuk mengunjungi kamar nomor 6, lagi. Aku berharap-harap cemas, semoga kali ini dia terlihat batang hidungnya.
Aku berjalan menuju lorong lantai satu, sesekali menyapa beberapa penghuni yang baru kembali dari kuliah, ataupun sehabis mencari nafkah. Sesampainya di depan kamar, kutatap sejenak pintu kayu triplek yang sudah kusam. Lalu aku mengetuknya sebanyak tiga kali, sembari memanggil si Nomor 6.
“Ndhuk? Ndhuk ada di dalam kah?”
Sunyi.
“Ini biyung¹, Ndhuk. Biyung kuwatir sama kamu. Wis seminggu ndhuk ora weruh²,” aku mengetuk lebih kencang kali ini.
“Ndhuk??” ritme ketukanku tergesa-gesa. Mulai hilang rasa sabarku.
“Yen sampeyan ora mbukak lawang, Biyung bakal mbukak dhewe saiki!³” nadaku sedikit mengancam. Namun tetap saja, tak ada suara apapun dari dalam sana. “Ya, wis, Biyung masuk ya?” aku meraih gagang pintu, menekannya ke bawah. Lantas mendorong pintu yang tidak kusangka akan betulan terbuka. Aku pikir, si Nomor 6 mengunci pintunya rapat-rapat.
Pemandangan pertama yang kulihat adalah kamar yang rapi namun remang-remang. Ada sedikit cahaya matahari sore yang masuk lewat jendela yang ditutup gorden. Kamar ini terasa lembab. “Ndhuk?” aku memanggilnya sembari menyisir tiap jengkal ruangan.
“Ndhuk, kowe ning endi?⁴” aku kembali bertanya seolah akan ada yang menjawab. Lalu bola mataku yang sedang mengamati kamar remang ini, menemukan secarik kertas di atas meja dekat kasur.
Kakiku digerakkan menuju benda putih itu, kini aku menghadap kasur dan membelakangi pintu. Kuraih kertas tersebut, lalu kubaca isinya.
‘Angin datang, ia akan kemari.
Kau pasti heran, kenapa angin ke sini?
Untuk apa?
Dia berkunjung, untuk memberikan sebuah jawaban.
Ia akan membuatku terlihat.
Besok-besok kalau aku sudah ketemu.
Entah oleh siapa, dan entah bagaimana.
Lafalkanlah surat ini keras-keras.
Aku ingin mendengarnya.
Karena surat ini sudah kubuat khusus untukmu yang menemukannya.
Agar menjawab semua pertanyaanmu.
Nanti jangan ragu.
Gerakkan kepalamu ke arah pintu.
Manis wajahku akan menyambutmu, bersama seutas tali yang menggantung di sana.
Untuk selamanya.’
Tiba-tiba angin berembus kencang, membuat pintu kamar tertutup (tidak sepenuhnya rapat). “Surat opo iki? Kowe ning endi sih, Ndhuk?⁵” lagi-lagi aku bertanya, kali ini entah mengapa perasaanku tak enak.
Aku membaca ulang kalimat itu, mencoba memahaminya.
Seketika bulu kudukku berdiri, bau busuk merangsek indra penciuman. Walau hari masih cerah, rasa takut itu hadir melebihi gelapnya malam. Jantungku berdetak sangat kencang sampai aku merasa akan meledak saat ini juga.
Si Nomor 6 menjawab pertanyaanku.
-C, 25/10/2022
Ps : kalau masih belum paham, baca huruf yang diitalic dibagian suratnya deh. Nanti pasti ketemu maksud dari ‘si Nomor 6 menjawab pertanyaanku’. Mau minta maaf juga kalau bahasa jawanya kurang bagus atau tepat, modal google cuy🥲
¹Ibu.
²Sudah seminggu kamu gak keliatan.
³Kamu kalau gak mau buka pintunya, Ibu bakal buka sendiri nih pintunya!
⁴Nak, kamu di mana?
⁵Surat apa ini? Kamu di mana sih, Nak?