Latihan Soal Bahasa Panda; Sudut Pandang Lingga

cee.thoughts
6 min readNov 29, 2022

--

TIGA puluh menit sudah berlalu dengan sia-sia. Berbagai cara berdasarkan teori, hingga cara yang kubuat sendiri pun tak mempan untuk menyelesaikan soal fisika nomor 7. Menyebalkan, aku paling tidak suka kalau sudah begini. Kepalaku sudah mulai pusing tujuh keliling.

Guru yang mengawasi juga kenapa malah tiba-tiba dipanggil untuk rapat? Padahal kan, beliau sudah seharusnya bertugas di sini untuk menjadi penerang kalau muridnya kesusahan mengerjakan soal. Suasana kelas juga jadi tidak kondusif, malah ada yang pergi ke kantin untuk jajan. Apa yang mereka pikirkan sih? Padahal tinggal satu bulan lagi pelaksanaan UTBK gelombang satu dijalankan, kenapa mereka bisa santai sekali menyantap makanan di kantin tanpa merasa takut akan ujian nanti? Mungkin mereka sudah merasa bisa menyelesaikan semua jenis soal, makanya mereka santai. Entahlah.

Teuing lah, terserah. Capek aing, titadi ngitung sarua kènèh jawabannya gak ada di pilihannya,” aku bergumam pelan. Lalu, aku membulak-balikkan kertas berlembar-lembar tersebut. Mencari soal lain yang lebih gampang untuk diselesaikan dahulu. Tak terasa satu jam sudah berlalu.

Aduh, wanita di sebelahku ini. Nawang, sedari tadi dia menghela napas dan berdecak, “Ck,ck,ck.”

Konsentrasiku jadi kacau. Mungkin, ada baiknya aku membantu dia. Kata ibuku, kalau ada orang yang kesusahan, dan kita punya kapabilitas untuk membantu, ya kita berkewajiban mengulurkan tangan. Lantas, aku mencondongkan badanku, penasaran soal apa yang membuat anak pintar di sampingku menghela napas berkali-kali.

Bahasa panda, kelemahan Nawang. Pantas saja tampangnya kelihatan seperti orang pasrah begitu, hahaha. Aku gak tau mengapa dia begitu membenci bahasa panda, padahal aku yakin, dia punya kemampuan untuk memahaminya dan mengerjakan dengan baik. Nawang hanya sedikit malas dan kurang motivasi.

“Sini aku bantuin, Na,” aku langsung menyambar kertas yang terhimpit oleh lengan Nawang. Kemudian, kuambil pensil yang ada dalam jemarinya. “Ai kamu tèh, bahasa panda tuh gampang pisan Na. Kamu mah udah males duluan sih nyeselain polanya, padahal simple aja atuh caranya.”

“Nih, perhatiin baik-baik ya,” aku menatapnya sekilas, dia juga sedang melihat ke arahku. Segera kualihkan pandanganku kepada soal di depan kami.

“Ini D=26, berarti pake metode alphanumeric coding. Alpabet tèh totalnya ada berapa, Na?” tanyaku.

“Ada 26.”

“Nah, A itu berarti hiji Na, B itu dua, dan seterusnya sampai ke-26. Hurup ke-26 itu apa?” aku bertanya untuk kedua kali.

Hurup Z, Ga,” Nawang menjawab.

“Pinter, berarti kalau D sama dengan 26, maksud sebenarnya tèh dia itu Z. Kalau setelah D itu pasti E, F dan seterusnya. Sehabis Z kita balik lagi ke A. Artinya, E tèh sama dengan A. Teurang teu, bestie?” lagi-lagi aku bertanya.

“Bentar,” Nawang terlihat sedang berusaha mencerna setiap kalimat yang kuucapkan tadi. Lihatlah, sekarang dia sedang mengulangi kalimatku sembari melihat ke soal nomor dua. “Lingga, kamu tau aku tèh teu resep pisan sama bahasa panda. Jadi aku ngerasa semuanya gak masuk akal. Aku gak paham maksud kamu tèh apa, hampura,” aku tersenyum tipis, dasar Nawang.

Ai kamu, makanya jangan sebel-sebel teuing atuh sama satu hal. Jadi susah kan kamu ngertinya,” kataku. Jujur, aku gak keberatan sama sekali walau harus mengulang berkali-kali. Karena membantu seseorang memang suatu hal yang selalu ingin kulakukan.

“Jadi gini Na, aku tulis ya. A itu hiji, B tèh dua, dan seterusnya sampai Z itu 26. Kalau D itu 26, artinya tèh D itu sebetulnya Z. Habis Z yang 26 èta, kita balik lagi ke hiji, yaitu A. Nah, setelah D tèh kan E, berarti E itu A. Berarti F itu B, gitu wèh seterusnya sampe hurup W ketemu,” aku berusaha menjelaskan lebih rinci dan perlahan, sambil sesekali melihat perubahaan raut pada wajahnya. Menilai, apakah Nawang sebetulnya memahami ucapanku atau tidak. “Kalau F itu B, G itu apa?” tanyaku setelah melihat kerutan di alisnya.

“G itu….”

“Setelah B apa, Na?” aku memberi petunjuk untuknya.

“C.”

“Nah, berarti?” tanyaku untuk kesekian kalinya. Kata ibu, mengajari seseorang itu memang harus sabar.

“Berarti G itu… C?” Nawang mengatakannya dengan wajah penuh keraguan. Tipikal murid yang takut salah menjawab.

“Nah, èta kamu paham Na! Sok dilanjutin, nanti kalo gak ngerti langsung tanyain ke aku. Nih ya, yang aku buletin berarti cara penyelesaiannya sama kayak yang tadi diajarin. Aku lanjut kerjain soal fisika dulu,” kata ibu, kalau seseorang mulai merasa takut dengan lawan bicaranya, berarti dia harus memberikan rasa nyaman kepada lawan bicaranya itu. Makanya aku memuji Nawang, supaya dia enggak merasa sungkan karena belum paham betul dengan apa yang baru saja kuajari.

Selang beberapa menit, aku mendengar Nawang meringis, membuatku menoleh. Kata ibu, biasanya tipe-tipe orang seperti Nawang itulah yang malu dalam meminta pertolongan. Tipe orang gak enakan, mungkin Nawang merasa tidak enak karena berpikir akan merepotkan kalau dia meminta bantuanku lagi. Jadi, kutanya dia, “Naha, Na? Ada yang susah? Perlu aku bantu?”

“Gak, bisa kok bisa. Agak pusing wèh ini mah,” aku mengangguk dan tersenyum mendengar jawabannya. Setidaknya aku sudah menawarkan bantuan tadi, kalau memang Nawang enggak enak denganku, ya aku tidak akan memaksa. Soalnya kata ibu, memaksakan sesuatu itu bukan hal yang baik.

“Ah teuinglah! Nanti mah pas UTBK ngasal wèh. Paling ini soal keluar man hiji meureun. Nembak hiji mah teu nanaon kali,” aku mendengar gerutuan dari sebelahku. Padahal aku sedang bergulat juga dengan soal fisika. “Naon deui tah… kamu tèh bisa Na. Coba diresapin lagi pasti paham deh. Nawang kan pinter, buktina kamari uprak dapet nilai diatas aku, heeuh teu?” kata ibu, kalau orang sedang emosi dan merasa frustasi, harus dikasih kata-kata yang positif. Harus diyakinkan kalau dia bisa. Jadi, kulakukan itu untuk Nawang, supaya dia percaya kalau dirinya betulan mampu.

Lima belas menit berlalu, akhirnya Nawang menyodorkan benda berukuran A4 kepadaku. Aku menoleh, lalu memeriksa dengan cekatan. Tersenyum puas, sebab Nawang berhasil menjawab semua soal yang kutandai dengan benar.

“Sekarang ini ya,” kataku sambil menunjuk satu soal yang berisi huruf juga angka. “Ini tèh sebenernya alphanumeric coding juga, tapi tèh lebih rumit saeutik lah. Nawang kan pinter, jadi pasti bisa paham,” aku kembali menekankan kata ‘pintar’ dan mengucapkannya berkali-kali. Kata ibu, banyak orang yang akan bersemangat kalau hasil pekerjaannya dipuji. Jadi, ku praktikkan teori tersebut kepada Nawang. Lihat, nyatanya dia sekarang sedang sumringah. Padahal tadi, wajahnya galak sekali.

“Suatu bahasa pengkodean untuk VISHAL adalah 22102111517. Pengkodean untuk SACHIN adalah,” aku membaca soal yang akan kami bahas keras-keras.

“Inget Na, tadi A tèh alpabet kahiji, B tèh kadua, jeung seterusnya. Berarti ai V mah alpabet ka-22, bener teu?” kulihat Nawang mengangguk. “I tèh hurup keberapa, Na?”

Kasalapan,” Nawang menjawab dengan cepat.

“Nah, naha itu abis 22 tèh malah 10? soalnya I tèh salapan, ditambah hiji. Jadi?” aku menatapnya, menunggu jawaban. “Jadi… sapuluh?” aku langsung mengangkat jempol tangan kananku, artinya Nawang benar.

“S tèh alpabet kasalapan belas, ditambah dua, jadi?”

Dua puluh hiji!” kini lawan bicaraku menjawab tanpa ada keraguan dalam nadanya.

“Jadi tiap hurup berikutnya, penambahan angkanya naik satu. Nah kitu wèh sampe hurup L. Bisa meureun langsung kerjain, kan pinter Nawang mah,” aku memujinya lagi. Kata ibu, kalau kita memberi pujian, pujian itu harus tulus dari hati. Garis bawahi itu. Mungkin karena pujian tulusku sampai kepada Nawang, dia langsung sigap mengerjakan satu soal itu. Enggak terdengar lagi tuh decakan atau helaan napas dari ranum merah Nawang. Akhirnya, karena Nawang sudah asik dengan soal panda itu, aku pun melanjutkan pekerjaan yang tadi sempat tertunda.

“Ga, coba sok kamu periksa, aku udah beres,” ucap Nawang selang beberapa menit, aku berhenti menghitung. Kuraih kertasnya dan mulai menganalisa jawaban Nawang. “Ih pinternya Nawang, bener ini. Tah, gampil kan bahasa panda mah,” aku tersenyum sembari sesekali menatap wajahnya. Kami tersenyum sampai beberapa detik kemudian.

Aku senang bisa menolongnya, kata ibu, membantu itu bisa membuat hati kita penuh. Kalau kita berbuat baik kepada sesama, kita akan merasa bahagia. Aku setuju dengan hal tersebut, maka dari itu, aku selalu membantu setiap orang yang sekiranya bisa kuberikan pertolongan.

Note : pria seperti Lingga yang dibesarkan dengan kesantunan, kebajikan & norma memang terkadang enggak sadar, kalau ketulusannya kerap disalahartikan (dan membuat sesilih paham). Mengapa demikian? Entahlah, mungkin dari pihak wanita yang jarang menemukan pria beradab, atau mungkin, pihak wanita yang terlalu berpusat pada imajiner dan hatinya?

-C, 29/11/2022

--

--

cee.thoughts
cee.thoughts

Written by cee.thoughts

Diksiku berantakan, kalimatku centang perenang, ceritaku amatiran.

No responses yet