Latihan Soal Bahasa Panda; Sudut Pandang Nawang

cee.thoughts
5 min readNov 29, 2022

--

JUMAT, merupakan hari yang dinantikan semua murid, kecuali aku. Mereka mengatakan, bahwa Jumat itu vibes-nya menyenangkan karena dua hari kedepan adalah waktunya berleha-leha bahkan nongkrong dengan sejawat. Semuanya enggak berlaku untukku, bahkan sepertinya untuk seluruh murid kelas duabelas. Aku terdaftar sebagai murid yang mengikuti UTBK gelombang pertama, berarti tinggal satu bulan lagi persiapanku. Artinya, kami (murid kelas duabelas), harus belajar mati-matian demi masuk perguruan tinggi terbaik dalam negeri. Tidak ada waktu untuk bersantai di Sabtu Minggu.

Sekolahku memang menjadwalkan murid kelas duabelas untuk full latihan soal UTBK setiap hari Jumat. Dimulai dari pukul 08.00–11.00, yang kemudian dilanjutkan kembali pukul 13.00 setelah jumatan dan ishoma dilaksanakan. Kami baru benar-benar selesai latihan soal sekitar pukul tiga sore.

Melelahkan, tapi selama rasa lelah itu gak aku rasakan sendirian, hal tersebut bukan masalah bagiku. Aku siap mengerjakan banyak soal-soal TPS dan TKA sejauh teman-teman juga ikut pusing bersamaku. Terutama Lingga, aku suka melihat wajah frustasinya, hahaha.

Dia mulai kelihatan mumet sejak 30 menit lalu, entah soal apa yang tidak bisa diselesaikannya sampai membuat anak ranking satu paralel itu berwajah kesal.

Sebetulnya aku juga sedang kesulitan dengan kertas-kertas yang ada di hadapanku. Tapi biar sajalah, aku abaikan sebentar soal-soal itu. Toh, mereka tak akan kemana-mana. Aku akan beristirahat sejenak, menikmati wajah mumet si ranking satu paralel.

Oh, biar kuperjelas. Kami saat ini sedang duduk bersebelahan, namun biasanya posisinya tidak begini. Aku dan Lingga menjadi chairmate hanya untuk hari ini, karena entah mengapa tiba-tiba teman sebangku kami kompak izin tidak masuk sebab sakit. Jadilah Lingga meminta izin untuk pindah ke bangku kosong sebelahku. Aku gak keberatan sama sekali. Malah aku senang, aku jadi bisa melihat wajah frustasinya dan sesekali bertanya jika ada soal yang sulit untuk dijawab.

Teuing lah, terserah. Capek aing, titadi ngitung sarua kènèh jawabannya gak ada di pilihannya,” Lingga bergumam, aku menahan tawa mendengarnya. Anak ini, kalau sudah lelah belajar gerutuannya lucu.

Kemudian, setelah aku puas memandang wajah Lingga, aku melanjutkan kegiatanku. Selang satu jam, tibalah aku ke soal bahasa panda. Entah mengapa, aku paling gak suka dengan soal ini. Maksudku, setelah berhasil memecahkan kode tersebut menjadi sebuah kalimat, kalian harus dibuat berpikir lagi untuk memilih pilihan gandanya. Ayolah, itu terlalu banyak buang-buang waktu untuk tes yang relatif singkat. Aku menghembuskan napas. Mulai mengeluarkan, “Ck, ck, ck.”

Tiba-tiba Lingga mencondong tubuhnya ke arahku, kemudian berpaling menuju kertas di meja. Aku menahan napas, gawat, terlalu dekat. Untung saja hanya sebentar, dia tidak akan bisa mendengar detak jantung dan melihat rona-rona di pipiku ‘kan?

“Sini aku bantuin, Na,” tanpa aba-aba dia menarik kertas yang sedikit terhimpit oleh lenganku. Lalu, dia meraih pensil yang berada dalam genggamanku. “Ai kamu tèh, bahasa panda tuh gampang pisan Na. Kamu mah udah males duluan sih nyeselain polanya, padahal simple aja atuh caranya.”

“Nih, perhatiin baik-baik ya,” Lingga menatapku sekilas, lalu kembali terfokus pada soal yang hurufnya kelihatan arbitrer.

“Ini D=26, berarti pake metode alphanumeric coding. Alpabet tèh totalnya ada berapa, Na?”

“Ada 26,” jawabku.

“Nah, A itu berarti hiji Na, B itu dua, dan seterusnya sampai ke-26. Hurup ke-26 itu apa?”

Hurup Z, Ga.”

“Pinter, berarti kalau D sama dengan 26, maksud sebenarnya tèh dia itu Z. Kalau setelah D itu pasti E, F dan seterusnya. Sehabis Z kita balik lagi ke A. Artinya, E tèh sama dengan A. Teurang teu, bestie?

“Bentar,” aku sedang berusaha mencerna setiap kalimat yang diucapkan Lingga tadi dengan cara mengulanginya. “Lingga, kamu tau aku tèh teu resep pisan sama bahasa panda. Jadi aku ngerasa semuanya gak masuk akal. Aku gak paham maksud kamu tèh apa, hampura,” ucapku sembari memasang wajah melas.

Ai kamu, makanya jangan sebel-sebel teuing atuh sama satu hal. Jadi susah kan kamu ngertinya,” aku cuma cengengesan menjawab kalimat yang keluar dari bibir Lingga.

“Jadi gini Na, aku tulis ya. A itu hiji, B tèh dua, dan seterusnya sampai Z itu 26. Kalau D itu 26, artinya tèh D itu sebetulnya Z. Habis Z yang 26 èta, kita balik lagi ke hiji, yaitu A. Nah, setelah D tèh kan E, berarti E itu A. Berarti F itu B, gitu wèh seterusnya sampe hurup W ketemu,” jelasnya lebih perlahan dan sabar dari sebelumnya. “Kalau F itu B, G itu apa?” tanyanya.

“G itu….”

“Setelah B apa, Na?”

“C.”

“Nah, berarti?”

“Berarti G itu… C?” aku bilang dengan ragu-ragu. Lingga kalau sudah mode guru seperti ini, memang agak mengintimidasi. Tapi selalu menyenangkan kok diajarkan Lingga.

“Nah, èta kamu paham Na! Sok dilanjutin, nanti kalo gak ngerti langsung tanyain ke aku. Nih ya, yang aku buletin berarti cara penyelesaiannya sama kayak yang tadi diajarin. Aku lanjut kerjain soal fisika dulu,” aku mengangguk pertanda setuju. Lantas, mulai mengerjakan seperti apa yang diperintahkan Lingga. Sesekali aku meringis, merasa pusing dan tersiksa dengan kode-kode menyebalkan ini. Disaat itu juga Lingga menoleh, memeriksaku. Dia bertanya, ada yang susah, atau apakah aku perlu bantuannya? Aku bilang, tidak.

“Ah teuinglah! Nanti mah pas UTBK ngasal wèh. Paling ini soal keluar man hiji meureun. Nembak hiji mah teu nanaon kali,” akhirnya rasa kesalku membuncah. Sumpah, persoalan bahasa panda ini sungguh membuang waktu dan merepotkan. “Naon deui tah… kamu tèh bisa Na. Coba diresapin lagi pasti paham deh. Nawang kan pinter, buktina kamari uprak dapet nilai diatas aku, heeuh teu?

Lingga, Lingga. Sudahlah aku kesusahan dengan soal bahasa panda, ditambah pula dengan kesabaran dan kebaikan hatimu yang rela mengajarkan aku, membuat jantungku berdetak kencang seolah habis dipecut. Makin pecah konsentrasiku.

Lima belas menit berlalu, akhirnya aku menyelesaikan semua soal yang dilingkari Lingga dengan susah payah. Aku menyodorkan benda berukuran A4 kepada insan disampingku. Lingga menoleh, lalu memeriksa dengan cekatan. Dia tersenyum, pertanda puas karena hasil ajarannya berhasil membuatku paham akan salah satu metode penyelesaian bahasa panda.

“Sekarang ini ya,” katanya sambil menunjuk satu soal yang berisi huruf juga angka. “Ini tèh sebenernya alphanumeric coding juga, tapi tèh lebih rumit saeutik lah. Nawang kan pinter, jadi pasti bisa paham,” Lingga dan kalimat afirmasinya itu membuatku terenyuh.

“Suatu bahasa pengkodean untuk VISHAL adalah 22102111517. Pengkodean untuk SACHIN adalah,” Lingga membaca soal yang akan dibahasnya keras-keras.

“Inget Na, tadi A tèh alpabet kahiji, B tèh kadua, jeung seterusnya. Berarti ai V mah alpabet ka-22, bener teu?” aku mengangguk untuk meresponnya. “I tèh hurup keberapa, Na?”

Kasalapan.”

“Nah, naha itu abis 22 tèh malah 10? soalnya I tèh salapan, ditambah hiji. Jadi?” Lingga menoleh ke arahku, meminta jawaban. “Jadi… sapuluh?” Lingga langsung mengangkat jempolnya, artinya itu benar.

“S tèh alpabet kasalapan belas, ditambah dua, jadi?”

Dua puluh hiji!” sekarang aku menjawab tanpa ragu. Aku mulai paham.

“Jadi tiap hurup berikutnya, penambahan angkanya naik satu. Nah kitu wèh sampe hurup L. Bisa meureun langsung kerjain, kan pinter Nawang mah,” lagi lagi dan lagi, anak ini betul-betul tau cara membuat seseorang semangat belajar. Dengan sigap, aku segera mengerjakan satu soal itu. Lancar, tidak seperti tadi. Ternyata menyenangkan juga. Cepat sekali ya aku berubah pikiran.

“Ga, coba sok kamu periksa, aku udah beres,” perkataanku membuat Lingga menghentikan pekerjaannya, dia meraih kertas dan mulai menganalisa jawabanku. “Ih pinternya Nawang, bener ini. Tah, gampil kan bahasa panda mah,” Lingga tersenyum sembari sesekali menatapku. Jantungku mulai berdetak abnormal.

Lingga, padahal kamu juga sedang kesusahan dengan soal fisika. Tapi, kamu malah membantuku dengan begitu sabarnya. Kebaikanmu inilah, yang membuatku jatuh hati padamu.

Note : latar belakang cerita itu di Bandung ya. Makanya agak nyempil-nyempil sedikit bahasa sunda. Tapi maaf kalau bahasa sundanya terlalu kasar atau bukan Bandung banget. I’ve done my best😔🙏🏻

-C, 29/11/2022

--

--

cee.thoughts
cee.thoughts

Written by cee.thoughts

Diksiku berantakan, kalimatku centang perenang, ceritaku amatiran.

No responses yet