Peristiwa Istimewa di Daerah Istimewa

cee.thoughts
9 min readMar 17, 2023

--

cr; wikipedia

GERAKAN luwes dari beberapa penari tersaji sebagai pemandangan yang sedang diperlihatkan malam ini. Berbagai kamera, mulai dari yang kecil sampai besar, berjajar di bagian barat daya dan tenggara Bangsal Srimanganti. Sementara penontonnya, asik duduk menikmati dari samping. Area depan dikosongkan khusus untuk tamu penting.

Hari ini adalah penayangan perdana pertunjukan Wayang Wong di Keraton Yogyakarta setelah hampir dua tahun vakum akibat pandemi. Jadi tak heran mengapa saat ini suasana terasa begitu megah dan indah. Banyak sekali sorot cahaya kamera yang merekam pertunjukan kesenian khas Kota Pelajar ini.

Seorang pria berkaos putih polos meletakkan benda elektronik bermerek Canon yang sudah terpasang tripod di sisi barat daya Plataran. Dia menaruhnya dengan hati-hati. Berusaha untuk tidak menyenggol kamera lain, karena memang banyak alat perekam yang sudah tertata rapi dengan sudut pandang kamera yang tentunya sudah diatur sedemikian rupa. Kurang lebih 15 menit, pria itu selesai dengan benda hitamnya. Dia beralih menuju bangku penonton.

Ia begitu bersemangat untuk menyaksikan pertunjukan ini, sebab lakon yang dimainkan ialah Pragolamurti. Kesukaannya. Ia bahkan rela mengambil cuti kerja dan jauh-jauh datang dari Jakarta hanya untuk menonton Wayang Wong di Keraton. Lihatlah, kini bahkan sosok tampan berkacamata itu sedang bersenandung kecil mengikuti alunan gamelan Jawa.

Pertunjukkan sebentar lagi dimulai.

Disisi lain, wanita dengan rambut dikuncir satu berbalut baju kerja khas reporter sedang berbicara dengan gawainya. Ia mengapit ponsel tersebut menggunakan bahu serta telinga kanannya, kepalanya sudah jelas dalam posisi miring. Wanita itu terlihat sibuk. Dia menelepon sembari mengatur letak kamera sebaik mungkin, supaya ia mendapat hasil rekaman yang maksimal tentunya.

“Terangkum dalam cerita, pertunjukan wayang orang yang berkisah tentang jaman Purwa, telah bersiap. Para penari yang siap untuk menari. Segera akan dimulai. Di tempat yang telah dihias indah. Menanti narasi yang akan dibacakan,” Sebuah lantunan merdu bahasa Jawa dari tiga orang dalang menjadi pertanda bahwa pertunjukan sudah dimulai.

Wanita yang masih berkutat dengan ponsel dan kameranya, mau tak mau harus bergerak cepat. Ia tidak ingin ketinggalan secuil dokumentasi apapun. Wanita tersebut sangat menjunjung tinggi kesempurnaan dalam pekerjaannya. Jadi, dalam waktu singkat, dia berhasil mengatur kameranya dan pergi ke tempat penonton.

“Permisi, maaf,” ucapnya ketika harus melewati jalan yang dihimpit bangku dari depan dan belakang. Badannya menunduk demi sopan santun, bibirnya tersenyum ramah.

“Permisi ya, Mas,” wanita itu sekali lagi meminta izin untuk lewat dan duduk di tempat yang sudah disediakan. Dia tersenyum ke arah pria yang dipanggil ‘Mas’, karena lelaki itu duduk tepat di sebelahnya.

Pria tersebut menjawab, “Oh iya, silakan silakan,” dengan gerakan tangan mempersilakan lewat dan duduk.

Perlu diketahui, pertunjukan Wayang Wong bukanlah pementasan dengan kurun waktu yang sebentar. Kesenian ini bisa berdurasi antara sembilan jam atau bahkan sampai berhari-hari. Untuk lakon Pragolamurti ini berdurasi sekitar 5 jam 30 menit. Setiap gerakan tarian memiliki makna tertentu, sehingga tidak bisa sebuah gerakan dihilangkan secara sembarang demi singkatnya waktu pertunjukan. Hal tersebut bisa memudarkan arti yang ada didalam cerita.

Dua jam telah berselang, kini adegan pertemuan agung sedang berlangsung. Raden Abimanyu berhasil memenuhi syarat ‘buron wana’. Prabu Batara Kresna menerima kedatangan Raden Abimanyu untuk melamar Putrinya, Dewi Siti Sendari.

“Bagaimana Anakku, apakah kamu berhasil mencari syarat pernikahan, berhasil atau tidak?” Ucap lelaki yang menjadi Prabu Kresna menggunakan bahasa Jawa.

“Kanjeng Uwa Prabu, syarat pernikahan dari Adinda Siti Sendari, yaitu berbagai macam hewan buruan hutan, beserta kera putih yang dapat berbicara berhasil saya dapatkan. Sekarang sudah berada di alun-alun,” jawab Raden Abimanyu (dalam bahasa Jawa).

Kemudian, datanglah Pragolamurti yang ingin melamar Putri Prabu Kresna. Pragolamurti juga sudah berhasil membawa syarat pernikahan. Akhirnya Raden Abimanyu dan Pragolamurti bertarung menggunakan batala kara (keris). Saat adegan seru inilah, ponsel wanita dikuncir satu bergetar. Awalnya dia abai, namun getaran itu tidak mau berhenti. Mengganggu, sungguh mengganggu konsentrasi.

“Halo?! Ada apa sih Kinasih? Gua lagi ngeliput Wayang Wong di Keraton, jangan ganggu bisa???” Tanpa basa-basi, wanita itu menumpahkan kekesalannya.

Adegan Raden Abimanyu melawan Pragolamurti adalah adegan kedoyanannya. Apalagi, saat nanti tanpa disangka-sangka, Raden Abimanyu yang dikira sudah kalah malah membalikkan keadaan dengan membidik panah ke leher Pragolamurti. Lantas Sendari bertemu dan menerima lamaran Raden Abimanyu. Sial, wanita dikuncir satu harus segera menutup teleponnya untuk melihat bagian yang sangat dia nantikan.

“Hah?!” Kekagetan yang diluar kendalinya membuat wanita itu sedikit meninggikan suaranya. Pria berkaos putih di sampingnya menoleh, juga beberapa yang lain. Dengan segera, wanita tersebut membuat gestur maaf dan meninggalkan kursinya.

“Apa tadi, Pak Tanto kenapa??” Wanita dikuncir satu bertanya kepada lawan bicaranya di seberang sana.

“Gak salah denger Mbak. Suwer deh, Pak Tanto minta lo buat liput Bapak Presiden yang lagi kunjungan ke Malioboro.”

“Ini serius Bapak Presiden di Malioboro??? Beliau lagi jajan kah di sana??” Wanita itu sedikit meninggikan suaranya.

“Kenapa beliau gak ke Keraton buat nonton Wayang Wong?? Kenapa malah ke Malioboro???” Ucapnya lagi tanpa bisa menutupi rasa dongkolnya.

“Kalau soal itu, sshhh… gua juga kurang paham ya Mbak. Bukan gua juga yang bikin agenda buat Bapak Presiden,” kawan yang bernama Kinasih itu meringis kecil. Sejujurnya dia juga keheranan.

“Terus liputan Wayang Wongnya gua tinggalin gitu aja? Baru dua jam gua ngeliput, enggak sampe beres dong. Bahan liputannya jadi kurang,” keluh wanita dikuncir satu.

“Kata Pak Tanto tinggalin aja, masalah itu biar beliau yang urus. Kebetulan cuma lo sendiri yang lagi ngeliput di Yogya. Jadi ya, begitulah….”

Wanita dikuncir satu menutup teleponnya dengan buncahan emosi yang sedikit lagi meluap. Dia sangat mendambakan menonton Wayang Wong di Keraton sejak empat tahun lalu, baru kesampaian sekarang karena ada kesempatan lewat pekerjaan. Eh, tiba-tiba malah ada kejadian tidak terduga. Dia juga tak mengerti dengan pemikiran Pak Tanto, kenapa lebih memilih untuk meliput kegiatan Bapak Presiden ketimbang kesenian yang baru dua tahun digelar kembali setelah pandemi.

Jika ia wanita yang tidak butuh uang, sudah pasti dia akan membangkang dan melanjutkan kembali menonton Wayang Wong. Masa bodoh dengan dipecat. Namun realitanya, tidak mungkin bisa seperti itu.

Ponselnya kembali bergetar. Kali ini Pak Tanto sendiri yang menghubunginya.

“Mbak, cepet ke Malioboro. Saya dapet info, kalau Bapak Presiden di sana cuma sampai jam sebelas malam. Segera ke sana ya!” Kalah telak, akhirnya wanita berkuncir satu itu kembali ke kursinya untuk mengambil tas dan menuju ke barat daya Plataran untuk mengangkut kameranya.

Terburu-buru wanita tersebut mengambil benda hitam perekam berinisial C. Sambil menggendong tasnya, dia meninggalkan Bangsal Srimanganti tanpa repot-repot mengecek, bahwa ada dua kamera yang sama di sana.

Tepat pukul satu dini hari, pertunjukkan Wayang Wong lakon Pragolamurti selesai dibawakan. Waktu pementasan, busana, alunan gamelan Jawa, tata rias, tarian, dialog. Sempurna secara keseluruhan. Hati pria berkaos putih terasa penuh, dia sangat puas dan sama sekali tidak merasa menyesal telah menggunakan dua hari cutinya untuk menonton kesenian Yogyakarta.

Satu persatu, penonton keluar dari area pementasan. Sebetulnya masih banyak para reporter yang sedang mewawancarai pemain lakon hari ini. Pria itu bergegas menuju barat daya Plataran untuk mengambil kameranya. Dia ingin mengabadikan momen setelah pementasan berakhir. Juga bila ada kesempatan, dirinya mau berfoto bersama para pemain, terutama Raden Abimanyu.

Kamera Canon tipe EOS 90D itu masih mangkir rapi di Plataran. Ia meraih benda eletronik tersebut, lalu memijit tombol dibagian atas untuk menyudahi rekaman yang telah berdurasi lima jam lebih. Kemudian berfoto, mengabadikan momen bersama lakon malam ini.

Semuanya terasa baik-baik saja, sampai setelah membersihkan diri dan melihat kembali hasil dokumentasi, pria berkacamata itu baru sadar ada yang salah dari kameranya.

Canon miliknya jelas tidak memiliki sebuah sticker kecil berupa huruf ‘S’. Langsung saja pria tersebut melihat foto yang terdapat di dalam kamera. Benar saja, ternyata isinya merupakan video liputan seorang wanita yang pastinya bekerja sebagai reporter di sebuah perusahaan swasta. Pria itu tidak berani mengulik lebih jauh, karena takut akan memutar sebuah video yang ternyata itu adalah liputan eksklusif.

Berbekal rasa panik dan sebal, ia dengarkan suara dan zoom beberapa foto maupun video untuk melihat tanda nama yang ada di baju wanita tersebut.

“Saat ini, saya sudah berada di Bangsal Srimanganti untuk menyaksikan pertunjukan Wayang Wong dengan lakon Pragolamurti pukul 7.30 malam waktu setempat,” pria itu mengulang kembali video tersebut. Merasa familiar dengan suara yang terputar dari alat perekam itu.

“Duh, kok kayak pernah denger ya? Tapi bukan di-tv.”

“Aduh, kenapa name tag-nya ketutupan gitu sih? Siapa sih namanya?”

“Ada aja lah, kenapa mesti ketuker segala. Besok sore udah harus ke bandara buat balik Jakarta.”

Begitu banyak keluhan yang keluar dari ranum pria berkacamata. Decakan-decakan, juga umpatan-umpatan kecil ia muntahkan.

Jam menunjukkan pukul tiga pagi, pria berkacamata sudah terbaring dengan video yang masih berputar sampai ia terbangun pada tujuh pagi nanti.

Di Malioboro, wanita dikuncir satu menahan tangis sebab pekerjaannya jadi kacau balau karena kameranya tidak sengaja tertukar dengan pengunjung Keraton Yogyakarta.

Sekarang sudah jam sepuluh pagi. Bermodalkan rasa keyakinan dan pikiran positif, pria berkacamata kembali ke Keraton Yogyakarta. Ia segera menuju ke tempat di mana kamera itu tertukar. Ya, di mana lagi kalau bukan di Bangsal Srimanganti. Pria berkacamata bertanya ke setiap abdi dalem yang ada di sana.

“Apakah mereka melihat wanita yang ada di dalam video ini?” atau, “Apa ada seseorang yang merasa kameranya tertukar?”

Semua menjawab dengan balasan yang sama, “Tidak.”

Pria berkacamata mau marah, sudahlah hari ini cahaya matahari sangat terik, ia malah lupa membawa air mineralnya. Dia tidak mau keluar sebelum berhasil menemukan wanita reporter yang salah mengambil kamera.

Sebetulnya, pria berkacamata bisa memaklumi wanita itu sih, karena, semalam memang penerangannya minim cahaya. Apalagi kamera dan tripod-nya terlihat sama persis dikegelapan malam. Kalau dia yang mengambil kameranya lebih dulu juga mungkin berpotensi salah ambil.

Sekarang pria berkacamata itu berjalan menuju pos satpam, dia belum mampir ke sini. Semoga kali ini jawabannya sesuai dengan apa yang ingin didengar olehnya.

“Permisi Bapak, Bapak melihat pe-”

“Nah, ini nih! Sampeyan pasti lagi nyari kamera itu yo?” Penjaga dengan logat Jawa Tengah menginterupsi ucapannya. Bola mata pria berkacamata membesar, dia mengangguk antusias.

“Tadi mbak yang nyari kamera juga ada, ke Plataran Srimanganti,” tanpa berlama-lama lagi, pria berkacamata menuju lokasi itu dan tak lupa mengucap terima kasih berkali-kali.

Selang beberapa menit berjalan cepat, pria berkacamata akhirnya sampai. Matanya langsung tertuju kepada seorang wanita dikuncir satu yang sedang berdiri membelakanginya.

Tidak salah lagi, pastilah dia wanita reporter yang ada dikamera yang sedang dipegang olehnya. Pantas saja suaranya terasa familiar, dia kemarin yang membuat sedikit kehebohan saat teleponan ditengah pertunjukkan semalam.

“Permisi, Mbak?” Sapaan dari pria berkacamata membuat wanita dikuncir satu menoleh. Tepat sasaran. Sama persis dengan wajah yang ‘menemani tidurnya semalam’.

“Eh, iya. Ada apa ya Mas?” wanita dikuncir satu bertanya. Belum sadar, karena memang, isi di dalam kamera pria berkacamata hanyalah potret alam semesta tanpa dirinya.

Pria berkacamata mengangkat sebuah kamera dan tripod, menggoyang-goyangkannya pelan sembari tersenyum. Wanita dikuncir satu spontan melompat kecil kegirangan.

“Maaf banget Mas, semalem itu saya buru-buru soalnya ada perintah liputan dadakan. Saya gak sadar kalau ada kamera yang sama,” wanita dikuncir satu langsung menjelaskan tanpa diminta. Matanya terlihat sedikit sembab, bekas menangis semalaman. Tecetak jelas wajah frustasi karena kehilangan semua file penting untuk pekerjaannya.

“Ohh iya gak apa-apa Mbak, saya juga kayaknya bakal salah ambil kamera karena semalem memang lumayan gelap,” ucap pria berkacamata, berusaha menenangkan.

“Makasih banyak ya Mas, kalau ini kamera gak ketemu. Yaudah, tamat riwayat saya jadi reporter.”

“Hahahaha, kenapa bilang makasih ke saya Mbak? Bilang makasihnya ke takdir aja, soalnya bikin kita ketemu lagi di sini.”

“Hahaha, ya enggak apa-apa sih. Sempet kepikiran aja memori card-nya dibuang atau disalahgunakan. Masnya ini suka jalan ya? Saya liat foto-foto di dalemnya banyak gunung, pantai, museum, bahkan kesenian berbagai daerah juga ada. Eh, maaf bukan maksudnya saya mau liat isi semua fotonya. Sayaa, itu, saya berusaha car-”

“Iya sama saya juga, saya liat isi kamera kamu buat cari informasi tentang pemiliknya. Kamu keren Mbak, liputanmu bagus. Modal tripod aja padahal, tapi hasilnya bisa proper,” wanita dikuncir satu menyelipkan beberapa helai rambut ke belakang telinga sambil mengucap terima kasih.

“Nih kameranya Mbak, jangan sampe ketuker lagi ya,” canda pria berkacamata. Wanita berkuncir satu tertawa sebagai jawaban. “Oh iya, sticker kecil huruf ‘S’ itu inisial namamu Mbak?”

“Hah? Oh, iya Mas.”

“Memang nama kamu siapa Mbak?”

“Hm, tadi malam dia jadi tokoh yang diperebutkan dalam cerita Wayang Wong Pragolamurti,” pria berkacamata mengernyit, kaget dan bingung.

“Sendari? Dewi Siti Sendari?”

“Cukup Dewi Sendari,” ucap wanita dikuncir satu, yang ternyata bernama Sendari. Ia tersenyum kepada pria berkacamata.

“Dewi Sendari? Namamu Dewi Sendari? Betulan Dewi Sendari?” Respon dari pria berkacamata membuat Sendari tertawa.

“Iya betulan, masa saya bohong. Kenapa sih memangnya Mas?”

“Saya Abimanyu, Raden Abimanyu,” seketika, tawa Sendari terhenti. Kini giliran dia yang melongo.

Perkataan Abimanyu tadi benar adanya, “Bilang makasihnya ke takdir aja, soalnya bikin kita ketemu lagi di sini.”

Kejadian ini dapat disebut sebagai ‘Peristiwa Istimewa’ karena dua tokoh utama yang selama ini diperankan dalam pentas, betulan hadir dalam dunia nyata. Bertemu di Daerah Istimewa, yang kemudian, melahirkan kisah-kisah istimewa berikutnya.

Raden Abimanyu dan Dewi Siti Sendari.
cr; dokumentasi Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat

Catatan :

  • Untuk yang bingung, jadi diawal itu ada tarian tradisional sebagai awalan sebelum masuk ke pertunjukkan Wayang Wong. (ini murni dari pikiranku aja, karena kayaknya asik kalau sebelum nonton wayang disajikan sebuah tarian daerah)
  • Mohon maaf apabila ada kesalahan informasi penulisan mengenai Wayang Wong, ini pertama kalinya bagiku. Sebelum menulis, aku sudah melakukan riset sebanyak mungkin dengan sumber terpercaya. Apabila ada saran/kesalahan informasi dalam penulisan, aku sangat terbuka untuk dikoreksi. Terima kasih♡

-C, 17/03/2023

--

--

cee.thoughts
cee.thoughts

Written by cee.thoughts

Diksiku berantakan, kalimatku centang perenang, ceritaku amatiran.

No responses yet