Ternyata Berkurang, Bukannya Menghilang
LANTUNAN merdu saksofon khas toko buku merasuki indra pendengaranku. Aku tau lagu ini, judulnya ‘In A Sentimental Mood’ dari Kenny G. Kata orang-orang sih, musik di toko buku bikin mereka jadi kebelet buang air besar. Aneh, aku gak pernah begitu. Malah, aku suka dengarnya, jadi berasa rileks.
Sekarang sudah dua jam lebih dan aku masih asik bergulat dengan rak-rak yang semerbak dengan bau kertas. Aku sedang mencari buku baru untuk bacaan dibulan depan, bulan terakhir di tahun 2022. Karena itulah, aku mau mencari yang paling spesial sebagai penutup diakhir tahun.
Mana yang harus kupilih? ‘Ronggeng Dukuh Paruk’, atau ‘Pada Sebuah Kapal’, atau si ‘Hujan Bulan Juni’? Ketiganya sama-sama menarik dan memikat hatiku. Haruskah aku membeli semuanya? Tapi bagaimana de-
“Nawang?” vokal dari seorang lelaki menghentikan monologku.
Aku menoleh sepenuhnya, dan rasanya jantungku mencelos. Aku terkejut atas kehadiran pria yang sekarang sedang tersenyum tanpa dosa. Otakku seperti membeku, seluruh pikiranku kacau. Aduh, aku gak bisa berbuat apapun selain memasang tampang selayaknya orang bodoh.
“Eh, Nawang ‘kan? Bener ‘kan? Nawang Kala yang dulunya tèh anak IPA 2?” lelaki itu mulai bertanya dengan nada ragu, dia jelas takut salah mengenali orang.
“Ini Lingga, temen kelas 11-12 kamu! Kamu tèh poho sama aku?” ia menunjuk dirinya sendiri sembari berbicara.
Mana mungkin aku lupa dengan dia, dengan Lingga. Kami dulu sekelas, dan entah ada takdir apa hingga aku bisa selalu bertemu dengan Lingga selama 2 tahun mengenyam pendidikan menengah atas. Kami sering tergabung dalam satu kelompok diskusi belajar, terlebih, aku selalu meminta bantuannya untuk mengerjakan soal-soal HOTS.
Sejujurnya aku sering memperhatikan Lingga, terutama saat pelajaran sedang berlangsung. Sudah terbaca jelas ‘kan alurnya? Aku mulai memiliki perasaan karena Lingga anak yang ringan tangan. Selalu bantu aku, bantu teman-teman, bahkan guru. Namun tentunya aku gak pernah bilang ke dia, tapi gak tau deh Lingga sebetulnya sadar atau enggak, kalau aku pernah punya perasaan ke dia. Secara logika, mana mungkin juga aku punya nyali untuk melakukan hal gila tersebut. Hubungan kami selama ini kan hanya teman sekelas, masa iya aku mau utarakan perasaanku kepada Lingga? Nyari mati itu namanya.
Lagipula setelah kelulusan bertahun-tahun lalu, kami jarang menghubungi satu sama lain. Aku pun mulai melupakannya, dan sudah gak ada lagi tuh perasaan aneh yang menggejolak di dada setiap kali melihat foto Lingga di social media-nya ataupun socmed kawan SMA-ku.
Lantas, kenapa sekarang aku terkejut? Itu karena… semuanya terlalu tiba-tiba. Dari sekian banyak toko buku di Bandung, kenapa dia harus ke sini? Ke toko buku yang sama denganku.
“Nawang, naha atuh malah bengong? Reuwasnya, sekarang mah aku jadi tambah kasèp?” ucapnya sambil menaik-turunkan kedua alisnya.
“Naon sih?? Beungeut kamu masih cileupeung jiga dulu tau?!” jawabku berusaha menutupi rasa gugupku. Dia terbahak. Tawanya masih sama seperti yang kulihat waktu SMA.
“Kamu mau beli kabèh èta buku?” Lingga bertanya sembari melihat ke arah kumpulan buku yang berada di pelukanku. Aku mengedikkan bahu, “Teu teurang yeuh, bingung.”
“Semuanya sad ending. ‘Hujan Bulan Juni’ teu teurang da sebenernya tèh sad ending atau enggak, cuma menurut aku tiga-tiganya kepisah ti kabogohna mereka. Ditinggal mati, sekarat, sama gila. Kisah cinta yang nyayat hati. Naha milih buku rimbag kieu? Lagi patah hati kamu, Na?”
“Anying, aku kena spoiler habis-habisan! Nyebelin ih Lingga, ini buku buat bacaan aku bulan depan,” perkataanku lagi-lagi berhasil meloloskan tawa dari bibir kehitaman Lingga. Padahal aku enggak bermaksud membuatnya tertawa. “Kamu masih sama kayak dulu ya Na, ngadumel waè, apalagi kalo ngerjain soal yang susah-susah.”
Aku hanya tersenyum kecil sebagai jawaban.
Kamu juga masih sama seperti SMA dulu. Cuma gaya rambut dan tinggi badan saja yang berbeda. Gaya bicaramu masih sama. Caramu melihat lawan bicara pun masih selayaknya dulu.
“Na, ai kamu lagi ada waktu lowong enggak? kita kan udah lama gak ketemu, nongki sebentar mau?” masih sama ternyata, ramahnya ke semua orang.
Dia tersenyum, manis. Kalau dia sudah mengeluarkan lengkungan dari bibir kehitamannya itu, aku hanya bisa pasrah.
Tanpa terasa, matahari yang tadinya masih menyinari langit, sudah digantikan oleh bulan dan bintang. Kami banyak mengobrol. Bercerita tentang kehidupan beberapa tahun belakangan. Ternyata Lingga 100% masih sama seperti SMA, masih sama seperti disaat terakhir kali aku menemuinya. Caranya berbicara, gaya dia berkisah, selera humornya, keras kepala dan gak mau kalahnya. Sikap ramah tamahnya kepada setiap orang juga sama, bahkan jika diperhatikan dia makin ramah. Selalu menyenangkan berbincang bersama Lingga, perasaan gembira ini sama seperti waktu dulu. Tapi gak persis. Dulu rasanya menggebu-gebu, sekarang entah mengapa aku jauh lebih tenang.
Hingga pukul delapan malam, aku memutuskan untuk pulang. Lingga bersikeras mengantar, katanya dia gak akan tenang kalau aku pulang sendirian.
Selama perjalanan, pikiranku bercabang. Memikirkan maksud dari semua pertemuan hari ini. Kenapa kami dipertemukan kembali. Kenapa jantungku bergerak abnormal, tapi juga terasa damai disaat yang bersamaan.
Sampai tibalah kami di depan halaman rumahku. Aku melepas seatbelt yang terpasang rapi pada badanku.
“Na, kamu tèh sekarang jadi agak pendiem ya. Beneran lagi patah hati?” ia kembali menggodaku. “Diem deuh belegug, urang masih kesel gara-gara kena spoiler.”
Lingga tertawa, anak ini memang mudah sekali memberikan tawanya kepada orang lain. Aku jadi ikut tersenyum saat melihat wajah berserinya.
“Udah, aku mau masuk. Hatur nuhun ya Ga udah repot-repot dianterin sampe depan rumah.”
“Bentar ai kamu, Na. Aku mau pamitan sama mama papa kamu dulu atuh. Gak enak udah ajak main sampe malem, bisi kamu dimarahin nanti.”
Lingga, Lingga, masih sama seperti SMA. Perkataan dan tindakannya kadang masih suka bikin salah paham orang lain. Untung aku sudah (lumayan) kebal sekarang.
Lagi-lagi aku tersenyum untuk kesekian kalinya untuk hari ini. Belum pernah aku tersenyum sebanyak ini dalam satu hari. Aku turun bersamaan dengan Lingga, lalu masuk ke rumah yang berisikan mama dan papa. Lingga mencium tangan kedua orangtuaku, mengobrol barangsebentar, setelahnya langsung berpamitan untuk pulang. Hatiku terasa damai dan hangat melihat pemandangan barusan.
Disaat itulah aku sadar perasaanku gak pernah menghilang, tapi cuma berkurang. Perasaan itu kembali hadir, walau dengan kadar yang berbeda. Rasa sayangku bukan lagi perasaan menggebu-gebu seperti bocah yang baru kenal kosakata ‘cinta’. Kini rasa sayangku sudah mulai ‘dewasa’.
Revisi kedua (29/11/2022)
Revisi ketiga (19/01/2023)
-C, 19/01/2023